Jakarta – 21 November 2024 – PT Mandiri Sekuritas (Mandiri Sekuritas/Perusahaan) memproyeksikan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang stabil pada kisaran 5,1% di tahun 2025. Pertumbuhan tersebut didukung oleh membaiknya permintaan domestik atau konsumsi rumah tangga, kinerja ekspor yang terpengaruh perlambatan ekonomi global, dan potensi tariff impor Amerika Serikat (AS) yang lebih tinggi untuk barang-barang dari Tiongkok dan negara-negara lain.
Rangga Cipta, Chief Economist Mandiri Sekuritas mengatakan,”Kami memproyeksikan konsumsi rumah tangga yang akan kembali pulih, siklus modal yang akan kembali dimulai didukung oleh investasi langsung dalam dan luar negeri akan menjadi faktor-faktor utama pendorong pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia di tahun 2025. Sementara inflasi kami proyeksikan rata-rata 2,6% di tahun depan, naik dari 2,3% di tahun 2024 ini. Kenaikan inflasi tersebut sebagian disebabkan oleh efek pasar yang rendah dari inflasi inti yang lemah dan tarif PPN yang lebih tinggi hingga 12% di tahun 2025.”
“Nilai tukar Rupiah pada tahun 2025 diproyeksikan rata-rata Rp15.700 per dolar AS yang mencerminkan sedikit apresiasi dari tahun 2024. Terbatasnya ruang apresiasi Rupiah mencerminkan dolar AS yang terjaga berkat kekuatan kebijakan Trump yang ke arah inflasi, namun tetap protektif baik secara fiskal maupun perdagangan internasional,” jelas Rangga.
“Kami memproyeksikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di akhir tahun 2025 ada level 8.150 dengan kisaran 8.590/7.140 dengan sektor-sektor yang disukai, seperti: konsumsi, pangan, properti, telekomunikasi, transportasi, dan retail Sementara di Kuartal II 2025, sektor-sektor yang disukai adalah: perbankan, automotif, dan retail,” tambah Adrian.
Untuk pasar obligasi, Handy Yunianto, Head of Fixed Income Analyst Mandiri Sekuritas mengatakan,”Kami percaya bahwa pasar obligasi akan memberikan positive return di tahun 2024 dan 2025 dengan dukungan beberapa katalis positif, yaitu: pertama, prospek penurunan suku bunga acuan BI Rate yang masih terbuka dengan tekanan inflasi yang relatif masih rendah dan ekspektasi suku bunga Fed akan terus turun sampai dengan tahun 2025. Kedua, tekanan supply SBN juga masih manageable karena pemerintah masih bisa menggunakan Saldo Anggaran Lebih, optimalisasi loan program, dan investment financing, transisi ke pemerintahan baru yang mulus. Terakhir atau ketiga, valuasi masih cukup menarik jika dibandingkan dengan yield yang ditawarkan oleh negara-negara berkembang dengan rating yang sama.”
“Sementara dari sisi risiko, masih akan dipengaruhi dari global yaitu hasil Pemilu di AS dan eskalasi konflik geopolitikal. Kebijakan fiskal Trump seperti pemangkasan pajak dan kenaikan tarif impor barang dan jasa dari luar diperkirakan dapat berdampak terhadap kenaikan inflasi serta perlambatan ekspektasi penurunan suku bunga Fed Fund Rate. Namun demikian ada perkembangan menarik di pasar obligasi Indonesia dimana korelasi imbal hasil US Treasury dan yield obligasi pemerintah Indonesia yang menurun, seiring dengan makin besarnya dominasi investor domestik, tidak hanya dari investor institusi tetapi juga dari ritel. Bahkan tahun ini ritel adalah pembeli terbesar pasar obligasi pemerintah,” jelas Handy.